Tuesday, May 29, 2012

Tak Terbaca Arah

Getaran telpon selular malam itu membangunkanku dari tidur yang tak seberapa nyenyak disebabkan cuaca dingin yang membuat kondisi tubuh ini tidak sebaik yang seharusnya. Kuangkat telpon itu tanpa berkata-kata hingga akhirnya beberapa detik pun berlalu hanya dengan keheningan. Akhirnya dia memulai pembicaraan dengan suaranya yang datar, hanya menyapa yang lalu kujawab iya. Dalam perbincangan tanpa arah itu, sayup-sayup terdengar suara petikan gitar abstrak. Kubayangkan pemainnya hanya ingin menyesuaikan nada senar-senar gitar miliknya. Melodi yang terputus-putus mengiringi pembicaraan itu membuatnya seolah menjadi pengantar sebuah perpisahan kekasih yang lama terpenjara jenuh. Tidak berapa lama pembicaraan itu pun berakhir tanpa menyisakan makna yang berarti.

Malam baru saja berlalu beberapa saat lalu, kini berganti pagi buta yang dingin membawa kebekuan. Cukup lama terdiam setelah perbincangan di telpon itu terputus, lalu kucoba mengirimkan sebuah pesan singkat. Seolah bertaruh pada nasib, kuberanikan diri bertanya, berharap mendapat jawaban atas ketidaknyamanan perasaan yang telah lama membuncah. Dia pun menjawab pesan singkatku dan berkata bahwa telponnya beberapa saat lalu itu memang untuk mengatakan sesuatu. Entah mengapa saat itu juga aku seolah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada hubungan ini. Aku tidak pernah menyuruhnya memikirkanku jika memang tidak ada waktu untuk itu, tapi dia berkata dia sakit karena memikirkanku. Tidak ada kebahagiaan mendengarnya, hal itu justru membawa firasat yang semakin memburuk.

Tiba-tiba saja dia mengajakku menikah, lalu kujawab “kau jangan bercanda”. Dia mengatakan bahwa dia sangat serius karena dia memang diminta untuk segera menikah. Otakku seketika penuh dengan pertanyaan “siapa”. Segera kukuasai diri lalu dengan tenang aku bertanya, “siapa yang memintamu menikah, seorang wanita kah?”. Saat itu rasanya ingin sekali kuberlari walaupun tanpa harus mendengar jawaban. “Ibuku” itulah jawaban yang kuterima. Untuk sepersekian detik hati ini merasa lega. Namun tak bertahan lama, jawabannya  justru memunculkan banyak pertanyaan yang semakin ingin kuketahui jawabannya. “Ibumu.. kenapa begitu, kau dijodohkan?” pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di pikiranku dan meluncur begitu saja. Sejenak dia menghela nafas dan berkata lirih, “emm..iya”.

Jawaban itu membuat waktu seakan berhenti berputar, seolah tersambar petir yang membuatku diam berdiri mematung tanpa nyawa. “Baiklah, lakukan saja jika memang kau ingin, anggaplah aku tidak ada, tidak perlu kau khawatirkan aku”. Aku merasa tidak memiliki kekuatan untuk bertahan melawan keadaan seperti ini. Hanya satu hal yang ingin kulakukan yaitu melindungi harga diriku walaupun itu adalah hal yang sangat egois. Merasa mungkin memang semuanya harus berakhir, dengan cara apapun walaupun tak pernah terpikirkan olehku cara seperti ini. “Sepertinya mudah sekali kamu berkata seperti itu”, dia menjawab. “Lalu, aku harus apa? Memohon agar kau jangan menyakitiku? Untuk apa, nyatanya cepat atau lambat itu akan terjadi,” kucoba menahan perasaan yang berkecamuk didalam hati, walaupun tak sepenuhnya aku mampu. “Jadi selama ini itu yang ada dipikiranmu, kalau aku akan menyakitimu..”, seperti biasa dia selalu menguasai keadaan dan sekarang aku mulai tersudutkan. “Tidak, aku tidak pernah berpikir seperti itu, tapi itu dulu sebelum kamu berubah, sekarang kamu berubah, membuatku tidak lagi memiliki kepercayaan diri”. Aku mencoba membuatnya mengerti bahwa aku sudah merasa terbuang jauh sebelum ini terjadi.

“Aku tidak tahu jika kau merasa aku berubah, sekarang aku hanya ingin jawabanmu.. Apakah kau bersedia menikah denganku?” dalam sekejap dia menutup semua rajukanku.

Lama sekali aku berpikir, sampai otakku terlalu lelah dan akhirnya terpejam sesaat sebelum dini hari tiba membuat pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.

No comments:

Post a Comment