Malam baru saja berlalu beberapa
saat lalu, kini berganti pagi buta yang dingin membawa kebekuan. Cukup lama terdiam
setelah perbincangan di telpon itu terputus, lalu kucoba mengirimkan sebuah
pesan singkat. Seolah bertaruh pada nasib, kuberanikan diri bertanya, berharap
mendapat jawaban atas ketidaknyamanan perasaan yang telah lama membuncah. Dia
pun menjawab pesan singkatku dan berkata bahwa telponnya beberapa saat lalu
itu memang untuk mengatakan sesuatu. Entah mengapa saat itu juga aku seolah
mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang bisa terjadi pada hubungan
ini. Aku tidak pernah menyuruhnya memikirkanku jika memang tidak ada waktu
untuk itu, tapi dia berkata dia sakit karena memikirkanku. Tidak ada
kebahagiaan mendengarnya, hal itu justru membawa firasat yang semakin memburuk.
Tiba-tiba saja dia mengajakku
menikah, lalu kujawab “kau jangan bercanda”. Dia mengatakan bahwa dia sangat
serius karena dia memang diminta untuk segera menikah. Otakku seketika penuh
dengan pertanyaan “siapa”. Segera kukuasai diri lalu dengan tenang aku
bertanya, “siapa yang memintamu menikah, seorang wanita kah?”. Saat itu rasanya
ingin sekali kuberlari walaupun tanpa harus mendengar jawaban. “Ibuku” itulah
jawaban yang kuterima. Untuk sepersekian detik hati ini merasa lega. Namun tak
bertahan lama, jawabannya justru
memunculkan banyak pertanyaan yang semakin ingin kuketahui jawabannya. “Ibumu..
kenapa begitu, kau dijodohkan?” pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di pikiranku
dan meluncur begitu saja. Sejenak dia menghela nafas dan berkata lirih,
“emm..iya”.
Jawaban itu membuat waktu seakan
berhenti berputar, seolah tersambar petir yang membuatku diam berdiri mematung
tanpa nyawa. “Baiklah, lakukan saja jika memang kau ingin, anggaplah aku tidak
ada, tidak perlu kau khawatirkan aku”. Aku merasa tidak memiliki kekuatan untuk
bertahan melawan keadaan seperti ini. Hanya satu hal yang ingin kulakukan yaitu
melindungi harga diriku walaupun itu adalah hal yang sangat egois. Merasa
mungkin memang semuanya harus berakhir, dengan cara apapun walaupun tak pernah
terpikirkan olehku cara seperti ini. “Sepertinya mudah sekali kamu berkata
seperti itu”, dia menjawab. “Lalu, aku harus apa? Memohon agar kau jangan
menyakitiku? Untuk apa, nyatanya cepat atau lambat itu akan terjadi,” kucoba
menahan perasaan yang berkecamuk didalam hati, walaupun tak sepenuhnya aku
mampu. “Jadi selama ini itu yang ada dipikiranmu, kalau aku akan
menyakitimu..”, seperti biasa dia selalu menguasai keadaan dan sekarang aku mulai tersudutkan. “Tidak, aku tidak pernah berpikir seperti
itu, tapi itu dulu sebelum kamu berubah, sekarang kamu berubah, membuatku tidak
lagi memiliki kepercayaan diri”. Aku mencoba membuatnya mengerti bahwa aku
sudah merasa terbuang jauh sebelum ini terjadi.
“Aku tidak tahu jika kau merasa aku berubah, sekarang aku hanya ingin jawabanmu.. Apakah kau bersedia menikah denganku?” dalam sekejap dia menutup semua rajukanku.
“Aku tidak tahu jika kau merasa aku berubah, sekarang aku hanya ingin jawabanmu.. Apakah kau bersedia menikah denganku?” dalam sekejap dia menutup semua rajukanku.
Lama sekali aku berpikir, sampai otakku
terlalu lelah dan akhirnya terpejam sesaat sebelum dini hari tiba membuat
pertanyaan itu menggantung tanpa jawaban.
No comments:
Post a Comment