Sejarah Kajian Linguistik


Gina 180110070010
Sejarah Kajian Linguistik II
Sastra Indonesia

Aliran Glosematik

Aliran Glosematik lahir di Denmark, tokohnya Louis Hjemslev (1899-1965) yang meneruskan ajaran Ferdinand de Saussure. Namanya menjadi terkenal karena usahanya untuk membuat ilmu bahasa menjadi ilmu yang berdiri sendiri, bebas dari ilmu lain, dengan peralatan, metodologis dan terminologis sendiri.
Analisis bahasa dimulai dari wacana, kemudian ujaran itu dianalisis atas konstituen-konstituen yang mempunyai hubungan paradigmatis dalam;
1.       rangka forma (hubungan gramatikal intern),
2.      substansi (kategori ekstern dari objek material),
3.      ungkapan (medium verbal dan grafis), dan
4.      isi (makna).
Prosedur yang bersifat analitis dan semi aljabar ini menghasilkan satuan dasar yang disebut glosem, yang mempunyai pengertian kurang lebih sama dengan morfem menurut teori Bloomfield. Menurut Hjemslev teori bahasa haruslah bersifat sembarang saja, artinya harus merupakan suatu sistem deduktif semata-mata. Teori itu harus dapat dipakai secara tersendiri untuk dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang timbul dari premis-premisnya. Suatu teori harus bebas dari pengalama apa pun, namun, teori itu harus tepat, maksudnya, harus memenuhi syarat untuk diterapkan pada data empiris tertentu, yaitu bahasa. Sedangkan teori itu agar dapat dipakai secara empiris haruslah konsisten, tuntas, dan sederhana.
Sejalan dengan pendapat Saussure, Hjemslev menganggap bahasa itu mengandung dua segi, taitu segi ekspresi (menurut de Saussure: signifiant) dan segi isi (menurut de Saussure: signifie). Masing-masing segi mengandung forma dan substansi, sehingga diperoleh
1.      Forma ekspresi
2.      Substansi ekspresi
3.      Forma isi, dan
4.      Substansi isi.
Perbedaan forma dari substansi berlaku untuk semua hal yang ditelaah secara ilmiah; sedangkan pembedaan ekspresi dari isi hanya berlaku bagi telah bahasa saja.
Karena teorinya pula Hjemslev dianggap tokoh yang paling berjasa dalam aliran Kopenhagen. Dalam aliran ini ahli bahasa Skandinavia seperti J.N Madvig, A Noreen, H,G Wiwel, O. Jespersen hingga tokoh yang tertua Rasmus Rask sering menujukkan kekhasan dalam mengembangkan teori kebahasaan di setiap kajiannya. Setelah terjadi kekhasan yang menarik akhirnya terdapat sebuah aliran yang bernama aliran Kopenhagen berkat sekelompok para ahli linguistik yang menamakan dirinya Linguistic of Copenhagen. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, tokoh yang terkenal yaitu Brondal dan juga Hjelmslev. Hjemslev mengembangkan wawasan prolegomena dalam mengembangkan teori linguistik dan mengembangkan teori glosematik ini.
Pemikiran Hjemslev bahwa bahasa sebagai objek kajian linguistik harus didudukkan sebagai struktur sui-generis yg memiliki totalitas dan otonominya sendiri membuat aliran Kopenhagen ini juga berbeda dengan aliran-aliran sebelumnya. Disini bahasa dibagi menjadi dua fungsi yaitu:
1.      eksternal yang meliputi unsur non linguistik dan struktur internal itu sendiri.
2.      ia mendiskripsikan bahwa teori merupakan hasil abstraksi yg berkaitan dengan dunia ideasi dan bukan paparan deskriptif.
Terakhir ia memberi konsep tentang tata tingkat hubungan dan hubungan fungsional antar tingkatan secara asosiatif dengan cara menjelaskan ciri hubungan fungsional antar kelas yang dibagi menjadi 3 yaitu interdependensi, determinasi dan konstelasi, ketiga ciri ini masih dapat diklasifikasikan lagi.
Baik Fungsi eksternal maupun fungsi internal, seperti dalam aliran Glosematik bahasa memiliki 4 strata yang harus dimiliki yaitu rangka forma (hubungan gramatikal intern), substansi (kategori ekstern dari obyek material), ungkapan (baik berupa wahana verbal maupun grafis) dan isi atau makna. Keempat strata tersebut akan sejalan dengan prinsip yang dikemukakan oleh Hjemslev yakni linguistik berkaitan dengan pengetahuan yang tersenden, esensi bahasa ada pada “system dalam”, dan teori merupakan dedukasi murni yg harus dibebaskan dari kabut realitas.
Analisis merupakan pemerian objek kajian yang mengandung sejumlah unsure dalam berbagai tingkatannya, yang memiliki ketergantungan hubungan yang satu dengan lainnya. Butir awal yang memiliki ketergantungan dinamakan kelas. Jika kelas mempunyai kesatuan yang luas maka akan tercipta komponen kelas. Dalam kelas ini dapat diklarifikasikan berdasarkan proses dan system. Kelas sebagai bagian dari proses disebut chain, dengan memiliki komponen berupa bagian dan penganalisasinya berupa partition. sedangkan kelas sebagai bagian dari system disebut paradigm, dengan mempunyai komponen berupa anggota dan menganalisisnya berupa articulation.
Prosedurnya dapat berupa Induktif maupun deduktif. Jika dalam induktif dilakukan dengan sintesis untuk memperoleh pemerian tentang kelas, komponen, hubungan masing-masing dalam keutuhan maupun pada ciri totalitas itu sendiri. Bila dilakuakan secara deduktif caranya dengan menggunakan metode analitis. metode tersebut bertujuan untuk menyelaraskan konsep yang bukan hanya berlaku pada segmen tetapi berlaku bagi segmen, antar segmen dan totalitasnya.
Dalam metode ini kita juga akan menemukan sebuah cara yaitu melalui komutasi antar segmen, tetapi hal ini mempunyai dampak yang negatif. Dampak tersebut berupa gejala sinkretisme dan gejala oplosning. sejala sinkretisme yakni paradigma yang dapat memiliki hubungan tumpang-tindih antara satu dengan lainnya, meskipun mereka sebenarnya tunggal. Sedangkan gejala oplosning adalah timbulnya varian sinkretisme atau syncretism-variety yang justru dapat dijadikan pangkal tolak dalam memberikan ciri penanda elemen-elemen tertentu.
Akhirnya dapat dikatakan, sebagaimana de Saussure maka Hjemslev juga menganggap bahasa sebagai suatu sistem hubungan; dan mengakui adanya hubungan sintagmatik dan paradigmatik.

Sumber:
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gina
180110070010
Sejarah Kajian Linguistik II
Sastra Indonesia


Linguistik Sistemik

Tokoh aliran Systemic Linguistics atau dalam bahasa Indonesia disebut Linguistik Sistemik adalah M.A.K. Halliday. Pokok-pokok pandangan aliran Systemic Linguistics (SL) ini adalah sebagai berikut:
1.      SL memberikan perhatian penuh pada segi kemasyarakatan bahasa, terutama mengenai fungsi kemasyarakatan bahasa dan bagaimana fungsi kemasyarakatan itu terlaksana dalam bahasa.
2.      SL memandang bahasa sebagai “pelaksana”. SL mengakui pentingnya pembedaan langue dari parole (seperti yang dikemukakan Ferdinand de Saussure).
a.       Parole merupakan perilaku kebahasaan yang sebenarnya.
b.      Langue adalah jajaran pikiran yang dapat dipilih oleh seorang penutur bahasa.
3.      SL lebih mengutamakan pemerian ciri-ciri bahasa tertentu beserta variasi-variasinya, tidak atau kurang tertarik pada semestaan bahasa.
4.      SL mengenal adanya gradasi atau kontinum. Batas butir-butir bahasa seringkali tidak jelas. Misalnya saja tentang bentuk-brntuk yang gramatikal dan yang tidak gramatikal. Skala kegramatikalan tidak dipandang secara sederhana tetapi lebih rumit seperti terlihat pada bagan di bawah ini.


Text Box:    Skala Kegramatikalan
 
tidak gramatikal
lebih janggal
gramatikal (tidak biasa)
kurang janggal
kurang biasa
gramatikal (biasa)
lebih biasa
5.      SL menggambarkan tiga tataran utama bahasa sebagai berikut:
SUBSTANSI
FORMA
SITUASI
substansi fonik
substansi grafis
fonologi
grafologi
leksis
gramatikal
konteks
tesis
situasi langsung
situasi luas

a.       Substansi adalah bunyi yang kita ucapkan waktu kita berbicara dan lambang yang kita gunakan waktu kita menulis.
1.      Substansi fonis adalah substansi bahasa lisan.
2.      Substansi grafis adalah substansi bahasa tulis.
b.      Forma adalah susunan substansi dalam pola yang bermakna. Forma terbagi dua, yaitu:
1.      Leksis, yaitu yang menyangkut butir-butir lepas bahasa dan pola tempat butir-butir itu terletak.
2.      Gramatika, yaitu yang menyangkut kelas-kelas butir bahasa dan pola-pola tempat terletaknya butir bahasa tersebut.
c.       Situasi meliputi tesis, situasi langsung, dan situasi luas.
1.      Tesis suatu tuturan adalah apa yang sedang dibicarakan.
2.      Situasi langsung adalah situasi pada waktu suatu tuturan benar-benar diucapkan orang.
3.      Situasi luas dari suatu tuturan menyangkut semua pengalaman pembicara atau penulis yang mempengaruhinya untuk memakai tuturan yang diucapkannya atau ditulisnya.
Selain ketiga tataran utama itu, dua tataran lain yang menghubungkan tataran-tataran utama yaitu:
1.      Fonologi, yang menghubungkan substansi fonik dengan forma.
2.      Grafologi, yang menghubungkan substansi grafik dengan forma. Sedangkan yang menghubungkan forma dengan situasi disebut konteks.

Sumber:
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gina kumala
180110070010
Sejarah Kajian Linguistik II
Sastra Indonesia

Bahasa dan Kebudayaan

Hipotesis Sapir – Whorf:
Relativitas Bahasa

Konsep hubungan bahasa dan kebudayaan menurut Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf adalah hubungan yang koordinatif, yaitu hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Menariknya hipotesis dari dua pakar linguistik ini sangat kontroversial, yang dikenal dengan nama hipotesis Sapir – Whorf, dan lazim disebut relativitas bahasa (Inggris: linguistic relativity). Meskipun gagasan-gagasan yang dikemukakan mereka adalah hasil penelitian yang lama dan mendalam, serta dikemukakan dalam karangan yang bobot ilmiahnya sangat tinggi, tetapi nyatanya gagasan mereka yang disebutkan dalam hipotesisnya sangat kontroversial dengan pendapat sebagian besar sarjana.
Isi hipotesis tersebut mengemukakan bahwa bahasa bukan hanya menentukan corak budaya, tetapi juga menentukan cara dan jalan pikiran manusia; oleh karena itu, mempengaruhi pula tindak lakunya. Dengan kata lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa yang lain, akan mempunyai corak budaya dan jalan pikiran yang berbeda pula. Jadi, perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu bersumber dari perbedaab bahasa, atau tanpa adanya bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali.
Jika bahasa itu mempengaruhi kebudayaan dan jalan pikiran manusia, maka ciri-ciri yang ada dalam suatu bahasa akan tercermin pada sikap dan budaya penuturnya. Misalnya, katanya, karena dalam bahasa Barat (Inggris, Belanda, dsb.) mengenal sistem kala (tenses), maka orang Barat sebagai penutur bahasa itu, sangat memperhatikan dan malah terikat dengan waktu. Begitu pun kebiasaan-kebiasaan yang berkenaan dengan tindak tutur selalu terikat dengan waktu. Pada musim panas pukul 21.00 matahari masih bersinar dengan terang, tetapi anak-anak mereka (karena sudah menjadi kebiasaan) disuruhnya tidur karena katanya hari sudah malam. Sebaliknya, bagi orang Indonesia karena bahasanya tidak ada sistem kala, maka, katanya, menjadi tidak memperhatikan akan waktu. Acara yang sudah terjadwalkan waktunya bisa mundur satu atau beberapa jam kemudian. Itulah sebabnya, katanya, ungkapan “jam karet” hanya ada di Indonesia, tetapi tidak ada pada bangsa-bangsa yang di dalam bahasanya ada sistem kala.
Hipotesis Sapir – Whorf ini yang menyatakan perbedaan berpikir disebabkan oleh adanya perbedaan bahasa ini, akan menyebabkan orang Arab, akan melihat kenyataan (realitas) secara berbeda dengan orang Jepang. Whorf menegaskan realitas itu tidaklah terpampang begitu saja di depan kita, lalu kemudian kita memberinya nama satu per satu. Yang terjadi sebenarnya menurut Whorf, adalah sebaliknya: kita membuat peta realitas itu, yang dilakukan atas dasar bahasa yang kita pakai, dan bukan atas dasar realitas itu. Contohnya:
Orang Inggris, misalnya, mengenal warna dasar white, red, green, yellow, blue, brown, purple, pink, orange, dan grey; tetapi penutur bahasa Hunanco di Filipina hanya mengenal empat warna saja, yaitu mambiru, hitam, dan warna gelap lain, melangit ‘putih dan warna cerah’, meramar kelompok warna merah, dan malatuy ‘kuning, hijau muda, dan coklat muda’.
Jika hipotesis Sapir – Whorf ini diterima, maka implikasinya dalam ilmu pengetahuan amat sangat jauh, sebab bagi ilmu pengetahuan manusia itu mempunyai satu jalan pikiran.

Sumber:
Chaer, Abdul. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gina kumala
180110070010
Sejarah Kajian Linguistik II
Sastra Indonesia

Fonologi Prosodi
Fononogi prosodi adalah teori yang dikembangkan oleh John R. Firth. Fonologi prosodi merupakan suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi prosodi terdiri dari satuan-satuan fonematis dan satuan prosodi.
1.      Satuan-satuan fonematis berupa unsur-unsur segmental, yaitu konsonan dan vokal.
2.      Satuan prosodi berupa ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang daripada suatu segmen tunggal.

Satuan-satuan fonematis berupa unsur-unsur segmental, yaitu konsonan dan vokal.
Berbicara mengenai vokal dan konsonan berarti kita berbicara tentang bunyi bahasa. Bunyi bahasa yang dihasilkan manusia bermacam-macam, ada yang membedakan kata, ada yang tidak.
a.       Bunyi [p] pada kata pagi diucapkan tidak sama dengan [p] pada kata siap karena
§  [p] pada siap diucapkan dengan kedua bibir tertutup
§  Sedangkan bunyi [p] pada kata pagi harus dilepas untuk bergabung dengan bunyi [a]
Perbedaan pelafalan itu tidak menimbulkan perbedaan makna kata. Atau jika dua bunyi bahasa secara fonetik mirip, tetapi tidak membedakan kata, maka kedua bunyi itu disebut alofon dari fonem yang sama. Berbeda halnya dalam bahasa Thai, perbedaan kecil semacam itu justru dipakai untuk membedakan kata. Contoh:
§  /p/ yang diucapkan biasa dan yang disertai hembusan napas yang kuat sehingga seolah-olah ada bunyi h-nya, dipakai untuk membedakan kata. Maka, /paa/ dalam bahasa Thai berarti ‘hutan’ sedangkan /phaa/ berarti ‘bagi’. Pasangan minimal ini menunjukkan bahwa bahasa Thai memiliki dua fonem: /ph/ dan /p/.
b.      Sebaliknya, jika membandingkan kata pagi dan bagi, bunyi [p] dan [b] membedakan kedua kata tersebut. Satuan bahasa terkecil berupa bunyi atau aspek bunyi bahasa yang membedakan bentuk dan makna kata disebut fonem. Kata pagi terdiri atas empat fonem: /pagi/.
Fonem yang berwujud bunyi seperti digambarkan di atas dinamakan fonem segmental. Fonem dapat pula tidak berwujud bunyi, tetapi merupakan aspek tambahan terhadap bunyi seperti tekanan, panjang bunyi, dan nada yang disebut ciri suprasegmental (dijelaskan pada bagian berikutnya).

Satuan prosodi berupa ciri-ciri atau sifat-sifat struktur yang lebih panjang daripada suatu segmen tunggal.
Jika orang berbicara, akan terdengar bahwa suku kata tertentu pada suatu kata mendapat tekanan yang relatif lebih nyaring daripada suku kata lain; bunyi tertentu terdengar lebih tinggi daripada bunyi yang lain; dan vokal (pada suku kata) tertentu terdengar lebih tinggi daripada vokal pada suku kata yang lain. Variasi-variasi tersebut merupakan ciri-ciri prosodi yang secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Kwantitas (panjang bunyi), bahwa bunyi dapat terdengar panjang atau pendek. Dalam bahasa tertentu bahkan terdapat penggolongan lebih dari panjang atau pendek saja. Dalam tulisan, panjang bunyi biasa dinyatakan dengan lambang diakritik dua titik [:] untuk menyatakan panjang sekali, sebuah titik [.] untuk menyatakan panjang. Contohnya dalam bahasa Bahaan (salah satu bahasa di Irian Jaya), panjang bunyi bersifat fonemis:
Kata /syo/ ‘ketapang’ dan /syo:/ (atau /syõ; syoo/) berarti ‘menjemur’.
2.      Tekanan dan nada yang menurut Samsuri dapat dijadikan satu menjadi yang disebut dengan aksen. Dalam bahasa Batak Toba tekanan bersifat fonemis karena membedakan kata, seperti pada /bĂ³ntar/ ‘putih’ dan /bontĂ¡r/ ‘darah’.
Untuk menandai tekanan dipakai tanda-tanda diakritik [”] untuk tekanan primer, [’] untuk tekanan sekunder. Nada ditandai dengan diakritik-diakritik [  ] untuk nada naik, [ ] untuk nada turun, [_] untuk nada datar, dan [ˇ] untuk nada turun-naik, sedangkan [ˆ] untuk nada naik-turun.
Pada semua bahasa, nada memberikan informasi sintaksis. Kalimat Anda dapat pergi besok dapat diucapkan sebagai kalimat berita atau sebagai kalimat tanya, bergantung pada naik-turunnya nada atau intonasi yang kita pakai.
3.      Jeda. Dalam sebuah bahasa, transisi dari sebuah bunyi ke bunyi yang lain mungkin tegas dan jelas; atau sebuah bunyi mungkin luluh ke bunyi yang berikutnya tanpa ada garis batasan yang terang diantaranya. Contohnya kita ambil dua buah frase dalam bahasa Indonesia yaitu:
a.       Frase membeli kantin
b.      Frase membelikan Tin
Perbedaan kedua frase di atas disebabkan oleh perbedaan jeda saja yaitu [məmbəli + kantin] dan [məmbəlikan + tin].



Sumber:

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Samsuri. 1985. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Alwi, Hasan dkk. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gina kumala
180110070010
Sejarah Kajian Linguistik II
Sastra Indonesia

KASUS INKORPORASI DALAM BAHASA INDONESIA

Secara umum inkorporatif ditunjukan pada tipe bahasa yang menggabungkan predikat atau kata kerja, subjek, objek, keterangan, dan modifikator lainnya menjadi sebuah kata dan jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain merupakan sebuah kalimat. Jadi dalam bahasa yang bertipe inkorporasi, kata-kata dalam sebuah kalimat digabung dalam sebuah kata.
Bahasa Indonesia bukan termasuk rumpun bahasa inkorporatif. Tetapi, menurut van Humboldt dalam Keraf (1990:63) yang menyatakan bahwa inkorporasi adalah penyatuan sejumlah morfem leksikal menjadi sebuah kata  dan dalam jumlah terbatas bahasa manapun dapat mengandung inkorporasi. Maka sesungguhnya konsep inkorporasi pun dapat diterapkan dalam struktur bahasa Indonesia. Namun, tidak seperti penerapan inkorporasi dalam bahasa yang bertipe inkorporatif. Contoh kasus inkorporasi dalam bahasa Indonesia diantaranya:
1.      Inkorporasi melalui penggabungan antara nomina ke dalam sebuah verba secara morfologi tanpa menimbulkan perbedaan makna.
(1)   Bangunan disamping rumahku memiliki nilai sejarah bagi keluarga kami.
    bernilai
Kata memiliki nilai adalah verba dan nomina yang dapat berinlorporasi. Nomina nilai berkasus objektif yang dapat diinkorporasikan ke dalam verba memiliki. Proses inkorporasi verba dan nomina tersebut adalah memiliki nilai menjadi bernilai.

2.      Inkorporasi secara fungsional (penggabungan antara fungsi-fungsi yang diisi oleh verba dan nomina tersebut). Contoh:
(2)   Ayah sempat melakukan ziarah ke makam leluhurnya.
   S                   P                    O                 Ket
(2a) Ayah sempat berziarah ke makam leluhurnya.
          S                  P                            Ket
Bagian yang berinkorporasi pada kalimat (2) adalah melakukan ziarah menjadi berziarah. Berupa penggabungan antara fungsi P dan O menghasilkan kata yang menduduki fungsi P. Yaitu melakukan sebagai P dan ziarah sebagai O menjadi berziarah yang menduduki fungsi P.

            Hal kain diungkapkan oleh Tampubolon et al. (1979:13) menyatakan bahwa sebuah kata kerja yang mewakili kata kerja tertentu dalam struktur semantik dapat berubah menjadi kata kerja yang setipe dengan kata mula-mula melalui proses inkorporasi. Contoh:
(3)   Ibunya telah menjanda sejak tahun lalu.
Kata menjanda adalah kata kerja proses, kata dasarnya adalah janda. Kata janda mewakili kasus objektif seperti terlihat pada kalimat berikut.
(3a) Ibunya telah menjadi janda sejak tahun lalu.
        KK      Obj
            Sedangkan Parera (1993:133) menyatakan inkorporasi sebagai pengintegrasian kasus ke dalam sebuah verba atau pemverbaan sebuah kasus secara morfologi tanpa membawa perbedaan semantis. Contoh:
(4)   Empat perampok itu menggunakan senjata golok.
Senjata golok dalam kalimat (4) menurut Parera dapat dijadikan verba dengan proses morfologis ber-kan menjadi bersenjatakan golok.

ANALISIS INKORPORASI DALAM BAHASA INDONESIA

1.      Pembentukan inkorporasi, afiks yang menandai verba hasil inkorporasi terdiri atas meng-, meng-kan, meng-i, ber-, ber-an, dan iber-kan.
1.1  Verba hasil inkorporasi yang berafiks meng-
1.      Inkorporasi verba dan nomina dasar, contohnya:
Hatinya telah menjadi (batu) sejak orang tuanya bercerai.
        membatu
2.      Inkorporasi verba dan nomina turunan, contohnya:
Ayah memberikan dukungan kepada kakak yang akan mengikuti lomba.
mendukung
3.      Inkorporasi verba dan nomina yang menjadi bagian frasa, contohnya:
Polisi berjanji akan melakukan pengusutan kasus pembunuhan itu.
mengusut
Kata pengusutan merupakan bagian dari frasa nomina pengusutan kasus pembunuhan itu.

1.2  Verba hasil inkorporasi yang berafiks meng-kan.
1.      Inkorporasi verba dan nomina dasar, contohnya:
Bambang memberikan informasi kepada polisi.
 menginformasikan
2.      Inkorporasi verba dan nomina turunan, contohnya:
Ranti memberikan penjelasan tentang alasannya berselingkuh.
menjelaskan
3.      Inkorporasi verba dan nomina yang menjadi bagian frasa, contohnya:
Danang dituduh melakukan pengumpulan dana APBN ilegal.
 mengumpulkan

1.3  Verba hasil inkorporasi yang berafiks meng-i
1.      Inkorporasi verba dan nomina dasar, contohnya:
Dia selalu memberikan nasihat siapapun.
 menasihati
2.      Inkorporasi verba dan nomina turunan, contohnya:
Tetanggaku melakukan pemukulan terhadap istrinya.
memukuli
3.      Inkorporasi verba dan nomina yang menjadi bagian frasa, contohnya:
Kemarin pemerintah melakukan pembatasan impor.
membatasi
Kata pembatasan merupakan bagian dari frasa nomina pembatasan impor.

1.4  Verba hasil inkorporasi yang berafiks ber-
1.      Inkorporasi verba dan nomina dasar, contohnya:
Para pengamat merapi itu memberikan komentar tentang aktifitas gunung Bromo.
       berkomentar
2.      Inkorporasi verba dan nomina turunan, contohnya:
Dalam rapat itu ia memberikan pendapat tentang kenailan iuran listrik.
berpendapat
3.      Inkorporasi verba dan nomina yang menjadi bagian frasa, contohnya:
Mahasiswa yang tidak memakai pakaian rapi dikeluarkan oleh dosen itu.
berpakaian
Kata pakaian merupakan bagian dari frasa nomina pakaian rapi.

1.5  Verba hasil inkorporasi yang berafiks ber-kan
Verba yang berafiks ber-kan ialah verba yang mewajibkan kehadiran pelengkap. Oleh karena itu, hanya nomina yang menjadi bagian frasa yang dapat diinkorporasikan, contohnya:
Indonesia adalah negara yang menggunakan asas Pancasila.
         berasaskan

1.6  Verba hasil inkorporasi yang berafiks ber-an
Verba yang berkonfiks ber-an adalah verba taktransitif yang jumlahnya terbatas dan tidak produktif. Contohnya:
Dengan santai mereka melakukan ciuman didepanku.
        berciuman

2.      Fungsi-fungsi konstituen dan pola kalimat sebelum dan sesudah inkorporasi
1.      Inkorporasi yang bersifat utuh, ialah inkorporasi yang meleburkan dua fungsi ke dalam satu fungsi.
a.       Inkorporasi verba dan nomina dasar, contohnya:
(1)   Kita semua harus melakukan antisipasi terhadap efek global warming.
       S                       P                      O                         Ket
(1a) Kita semua harus mengantisipasi efek global warming
  S                          P                                  O
Pada kalimat (1a) verba inkorporasi mengantisipasi yang berfungsi sebagai P merupakan penggabungan antara P dan O pada kalimat (1). Sedangkan penghilangan Ket disebabkan kategori yang mengisi ket pada kalimat asal, yaitu kalimat (1), yang berupa frasa preposisional (terhadap efek global warming) berubah menjadi O karena mengikuti verna transitif. Verba inkorporasi mengantisipasi merupakan verba transitif yang mewajibkan kehadiran O, bukan Ket. Dengan demikian inkorporasi nomina ke dalam verba pada kalimat (1) dapat dirumuskan sebagai berikut.
V         N
S          P          O         Ket                  Pola kalimat awal
S                P                O                     Pola kalimat setelah inkorporasi
Selain penggabungan P dan O yang menghasilkan P, terdapat juga penggabungan P dan Pel yang menjadi P, contohnya:
Hatinya telah menjadi batu sejak kedua orang tuanya bercerai.
S                P             Pel                            K
  membatu
b.      Inkorporasi verba dan nomina turunan, contohnya:
(2)   Mereka melakukan penyerbuan ke kantor satpam perusahaan.
     S                      P                             O                     K
(2a) Mereka menyerbu kantor satpam perusahaan.
S             P                         O
      Verba hasil inkorporasi, yaitu melakukan berfungsi sebagai P, merupakan penggabungan dari P dan O. Selain itu setelah proses inkorporasi, Ket pada kalimat asal menjadi O pada kalimat hasil inkorporasi dengan penanggalan preposisi ke. Maka, proses inkorporasi kalomat (2) dapat digambarkan sebagai berikut.
   V         N
S       P          O         K                  pola kalimat awal
S             P                O                  pola kalimat hasil inkorporasi

c.       Inkorporasi pada satu fungsi
Selain nomina yang berfungsi sebagai O dan Pel, ada juga nomina yang menduduki Ket yang dapat berinkorporasi dengan P. Contoh:
(3)   Pesawat itu akan menuju ke darat.
        S                    P                K
(3a) Pesawat itu akan mendarat.
   S                     P
Pada contoh (3) konstituen yang menduduki P dan Ket berinkorporasi menjadi P. Pola kalimatnya sebagai berikut.
V         FPrep
S          P          Ket                  pola kalimat awal
S                P                            pola kalimat setelah inkorporasi

2.      Inkorporasi yang tidak utuh, terjadi pada penggabungan verba dan nomina yang menjadi bagian dari frasa. Contoh:
(4)   Tersangka YS telah melakukan perampokan bank.
S                      P                            O
(4a) Tersangka YS telah merampok bank.
S                      P                  O
Inkorporasi nomina ke dalam verba menghasilkan verba merampok. Secara fungsional penggabungan konstituen tersebut merupakan penggabungan antara P dan O yang bersifat tidak utuh karena fungsi O tidak seluruhnya berinkorporasi pada P. Jadi, penggabungan antara P dan O dapat menghasilkan P yang digambarkan sebagai berikut.
V         N
S    P          O         pola kalimat awal
S    P          O         pola kalimat hasil inkorporasi
Proses inkorporasi tidak menimbulkan perubahan pola kalimat, yaitu tetap SPO. Perubahan hanya terjadi pada konstituen pengisi objek. Pada kalimat awal konstituen yang mengisi objek berupa frasa nomina, sedangkan O setelah terjadi inkorporasi diisi oleh pewatas frasa pada kalimat asal.
Contoh lain:
(5)   Tanjung Pinang tidak lagi memiliki fasilitas bebas pabean.
S                            P                            O
(5a) Tanjung Pinang tidak lagi berfasilitas bebas pabean.
S                              P                          Pel
Unsur yang berinkorporasi ialah memiliki fasilitas. Verba memiliki berfungsi sebagai P dan frasa nominal fasilitas bebas pabean berfungsi sebagai O. Secara fungsional penggabungan antara P dan O tidak utuh. Pola kalimatnya dapat dinyatakan sebagai berikut.
V         N
S    P          O
S          P  Pel
Inkorporasi mengubah pola kalimat SPO menjadi SPPel. Selain itu, terjadi pula perubahan fungsi, yaitu O menjadi Pel. Pel diisi oleh unsur lain dari frasa nominal yang tidak ikut berinkorporasi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gina kumala
180110070010
Sejarah Kajian Linguistik II
Sastra Indonesia


TATA BAHASA KASUS

Tata bahasa kasus yang diperkenalkan pada tahun 1968 oleh Charles J. Fillmore, membagi kalimat atas dua bagian yaitu
1.      Modalitas, yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia.
2.      Proposisi, yang terdiri dari sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus.

Kalimat

                                    Modalitas                                                        proposisi
negasi
kala
aspek
adverbia                   verba               kasus1              kasus2          kasusn






 
                                               
Kasus dalam teori ini adalah hubungan antara verba dan nomina. Verba di sini sama dengan predikat, sedangkan nomina sama dengan argumen dalam teori semantik generatif. Hanya argumen dalam teori ini diberi label kasus. Misalnya dalam kalimat bahasa Inggris berikut:

(1)   “John opened the door with the key
1.      argumen1 John berkasus “pelaku”
2.      argumen2 door berkasus “tujuan”
3.      argumen3 key berkasus “alat”


Kalimat

modalitas                                             proposisi

   kala                           verba       pelaku          tujuan      alat

    past                          open         John            door         key

            Makna sebuah kalimat dalam teori ini dirumuskan dalam bentuk:
                       
                                    +          --- X, Y, Z

Tanda --- dipakai untuk menandai posisi verba dalam struktur semantis; sedangkan X, Y, dan Z adalah arguman yang berkaitan dengan verba atau predikat itu yang biasanya diberi label kasus. Misalnya, makna kalimat (1) di atas:






 
OPEN, +         --- A, I, O






 
A = Agen,  yaitu pelaku perbuatan atau yang melakukan suatu perbuatan, seperti perbuatan makan, menendang, dan membawa.
I  = Instrumen, alat
O = Objek, tujuan adalah sesuatu yang dikenai perbuatan atau yang mengalami suatu proses seperti bola dan rumah dalam kalimat saya menendang bola dan Ayah membangun rumah.
           
            Dalam perkambangannya teori ini mengalami perubahan diantaranya pada tahun 1971 Fillmore kemudian membagi kasus ini menjadi agent, experiencer, object, means, source, goal, dan referential. Yang dimaksud dengan experiencer adalah yang mengalami peristiwa psikologis, seperti saya dan dia dalam kalimat Saya tahu dan Dia merasa takut. Yang dimaksud dengan source adalah keadaan, tempat, atau waktu yang sudah, seperti Bandung dalam kalimat Bus itu datang dari Bandung. Goal adalah keadaan, tempat, atau waktu yang kemudian seperti guru dalam kalimat Ibuku seorang guru. Sedangkan referential adalah acuan seperti Husin dalam kalimat Husin sakit.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gina kumala
180110070010
Sejarah Kajian Linguistik II
Sastra Indonesia

“Fonem” sebagai satuan terkecil dari bahasa
(aliran Praha dan F. de Saussure)

Aliran praha pertama-tama dikemukan oleh The Linguistic Circle of Prague. Kelompok ini berdiri pada bulan oktober 1926. Tokoh-tokoh aliran ini diantaranya adalah Vilem Mathesius, Nikolai S. Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Morris Halle. Pengaruh mereka sangat besar di sekitar tahun tiga puluhan, terutama dalam bidang fonologi.
Dalam bidang fonologi aliran Praha inilah yang pertama-tama membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyi-bunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari fungsi bunyi tersebut dalam suatu sistem. Begitu juga dengan istilah fonem yang dalam sejarahnya berasal dari bahasa Rusia fonema,lalu digunakan oleh sarjana Polandia Baudoin de Courtenay untuk membedakan pengertian fonem dari fon (bunyi); akan tetapi yang menggunakan dan memperkenalkan dalam analisis bahasa adalah para linguis aliran praha ini, seperti tampak dalam buku Trubetskoy Grundzuge der Phonologie (terbit 1939) (Abdul Chaer: 351)
Terpengaruh ahlibahasa Polandia, Baudoin de Courtenay yang telah mempunyai angan-angan tentang bunyi bahasa yang berlainan sekali dari kaum komparatif, lahirlah suatu hipotesis bahwa bunyi-bunyi bahasa itu mempunyai fungsi.

Contoh:
Bunyi [p] pada awal kata para dengan bunyi-bunyi pada awal kata-kata tara, cara, kara, bara, dara, jara, dan mara. Umpamanya, dapat dikatakan bahwa bunyi [p] dalam kata para itu mempunyai fungsi membedakan kata itu dari kata-kata yang berikutnya tersebut. Demikian pula dapat dikatakan hal yang semacam tentang bunyi-bunyi pertama di dalam kata-kata di atas itu, sehingga terbuktilah dari kata-kata di atas itu, bahwa bunyi-bunyi [p, t, c, k, b, d, j, dan m] mempunyai fungsi yang membedakan itu. Bunyi yang semacam ini disebut fonem.
Contoh di atas memperlihatkan struktur bunyi yang dijelaskan dengan memakai kontras atau oposisi, dan bunyi yang menimbulkan perbedaan makna tersebut adalah distingtif. Sedangkan perbedaan bunyi yang tidak menimbulkan perbedaan makna adalah tidak distingtif. Artinya bunyi-bunyi tersebut tidak fonemis. Tetapi, ada kemungkinan kontras yang terjadi pada suatu posisi tidak terjadi pada posisi lain. Dalam bahasa Indonesia misalnya, kontras antara p dan b, dan antara t dan d dapat terjadi pada posisi awal dan tengah, seperti pada contoh pasangan kata (1); tetapi tidak terjadi pada posisi akhir, karena maknanya tetap sama seperti pada contoh (2).

(1)   paku    X    baku                     tari       X    dari
tepas    X    tebas                     petang X    pedang
(2)   jawab   X    jawap
abad    X    abat

Ketiadaan kontras seperti ini disebut netralisasi; dan varian yang dihasilkan dari netralisasi ini disebut akrifonem, yang lazim dilambangkan dengan huruf besar. Dalam contoh /jawab/ X /jawap/ akrifonemnya dapat dilambangkan dengan huruf /P/ atau /B/.
Demikianlah mashab Praha yang tertarik oleh posisi, bahwa dengan tidak mengindahkan bunyi-bunyi yang sebenarnya yang dihasilkan oleh seorang pembicara pada suatu ketika, satuan terkecil daripada bahasa bukanlah “bunyi” atau “fon” melainkan “fonem”. Hal ini sesuai dengan pendapat Ferdinand de Saussure tentang satuan pokok daripada uraian bahasa, yang mengadakan perbedaan antara langue dan parole, bahasa dan ujar; ialah bahwa fonem adalah kesatuan terkecil di dalam langue (bahasa).
            Dalam bidang fonologi, aliran Praha ini juga memperkenalkan dan mengembangkan suatu istilah yang disebut morfonologi, bidang yang meneliti struktur fonologis morfem. Bidang ini meneliti perubahan-perubahan fonologis yang terjadi sebagai akibat hubungan morfem dengan morfem. Misalnya, pada contoh (2) kita lihat bahwa fonem /p/ dan /b/ tidak berkontras; tetapi bila kata /jawab/ yang mungkin dilafalkan /jawab/ atau /jawap/ diimbuhi sufiks –an, maka hasilnya adalah /jawaban/ dan bukan /jawapan/.
            Dalam bidang sintaksis Vilem Mathesiusmencoba menelaah kalimat melalui pendekatan fungsional. Menurut pendekatan ini kalimat dapat dilihat dari struktur formalnya, dan juga dari struktur informasinya yang terdapat dalam kalimat yang bersangkutan. Struktur formal menyangkut unsur-unsur gramatikal kalimat tersebut, yaitu subjek dan predikat gramatikalnya. Sedangkan struktur informasi menyangkut situasi faktual pada waktu kalimat itu dihasilkan. Struktur tema adalah apa yang dibicarakan, sedangkan rema adalah apa yang dikatakan mengenai tema. Setiap kalimat mengandung unsur tema dan rema. Pada kalimat (3) Nenek adalah subjek gramatikal, dan kakek adalah objek gramatikal, dan dalam kalimat (4) kakek adalah subjek gramatikal dan nenek adalah objek gramatikal.
(3)   Nenek melirik kakek.
(4)   Kakek melirik nenek.
Namun, dalam beberapa hal subjek gramatikal tidak selalu berada di depan objek. Dalam kalimat (bahasa Inggris) berikut
(5)   This argument I can’t follow.
Subjek gramatikalnya adalah I, sedangkan this argument adalah objek gramatikal. Tetapi, menurut aliran Praha, this argument adalah subjek psikologis atau tema; sedangkan I can’t follow adalah objek psikologis atau rema.


Sumber:
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Samsuri. 1985. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
 --------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gina kumala
180110070010
Sejarah Kajian Linguistik II
Sastra Indonesia

Dikotomi Bahasa Menurut Ferdinand de Saussure

Pendekatan modern terhadap kajian bahasa dilakukan sejak terbitnya buku Course de Linguistique Generale (1916) karya sarjana Swiss, Ferdinand de Saussure. Asumsi Saussure yang terkenal dan merupakan dasar kajiannya adalah bahwa bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realisasi asumsi tersebut, kajian pertama yang dilakukan Saussure adalah kajian terhadap struktur bahasa. Hal ini dilakukan karena Saussure menganggap bahwa bahasa sebagai satu struktur sehingga pendekatannya sering disebut Structural Linguistics. Kedua, Saussure mengembangkan pikirannya ke dalam enam dikotomi tentang bahasa, yaitu:
1.      Dikotomi sinkronik dan diakronik
Menurut Saussure kajian linguistik dilakukan secara diakronik dan sinkronik karena untuk dapat memotret pada suatu waktu tertentu diperlukan pemahaman tentang bahasa itu untuk satu rentangan waktu. Linguistik diakronis akan menelaah hubungan-hubungan di antara unsur-unsur yang berturutan dan tidak dilihat oleh kesadaran kolektif yang sama, dan yang satu menggantikan yang lain tanpa membentuk sistem di antara mereka. Sebaliknya, linguistik sinkronis akan mengurusi hubungan-hubungan logis dan psikologis yang menghubungkan unsur-unsur yang hadir bersama dan membentuk sistem, seperti dilihat dalam kesadaran kolektif yang sama.
(1)   Sinkronik
Kata sinkronis berasal dari bahasa Yunani syn yang berarti dengan, dan khronos yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, linguistik sinkronis mempelajari bahasa sezaman. Fakta dan data bahasa adalah rekaman yang diujarkan oleh pembicara, atau bersifat horisontal. Linguistik sinkronis adalah mempelajari bahasa pada suatu kurun waktu tertentu, sebagai contoh misalnya mempelajari bahasa Indonesia di masa reformasi saja atau mempelajari bahasa Indonesia yang digunakan pada zaman Jepang atau pada masa tahun lima puluhan.
(2)   Diakronik
Kata diakronis berasal dari bahasa Yunani, dia yang berarti melalui, dan khronas yang berarti waktu, masa. Dengan demikian, yang dimaksud dengan linguistik diakronis adalah subdisiplin linguistik yang menyelidiki perkembangan suatu bahasa dari masa ke masa. Studi diakronis bersifat vertikal, misalnya menyelidiki perkembangan bahasa Indonesia yang dimulai sejak adanya prasasti di Kedukan Bukit sampai kini.
Linguistik diakronis adalah semua yang memiliki ciri evolusi.

Ada berbagai contoh untuk melukiskan dualisme intern (sinkronis dan diakronis), misalnya, kata Latin “cripus” (berombak, bergelombang, keriting), menimbulkan kata dasar Perancis crĂ©p-, yang membentuk kata kerja crĂ©pir ‘melepa’, dan dĂ©crĂ©pir, ‘mengupas lepa’. Pada suatu waktu, bahasa Perancis meminjam kata Latin dĂ©crepitus, ‘usang karena usia’, untuk membentuk dĂ©crĂ©pit; tetapi ternyata orang melupakan asal kata ini.
Contoh yang lain terdapat dalam bahasa Jerman. Dalam bahasa Jerman tinggi kuno, kata jamak gast, ‘tuan rumah’, semula adalah gasti, dan jamak hant ‘tangan’ semula adalah hanti, dll. Akan tetapi, di kemudian hari, i- tersebut menjadi umlaut yang mengakibatkan a menjadi e dalam suku kata terdahulu: gasti menjadi gesti, hanti menjadi henti, tetapi kemudian (lagi) i- kehilangan bunyinya dan menghasilkan gesti menjadi geste, dst. Akibatnya, sekarang terdapat kata Gäst: Gaste, Händ: Hande, dan sejumlah besar kelompok kata yang menampilkan bentuk jamak dan tunggal. Hal ini adalah dimensi linguistik diakronis. Diakronis tidak mengubah sistem karena kata yang berubah pun adalah sistem dalam bentuk yang lain dengan sistem sebelumnya. Perubahan kata terjadi di luar kemampuan siapa pun.

2.      Dikotomi bentuk (form) dan substansi
Dikotomi antara bentuk dengan substansi, Saussure menekankan bahwa kajian linguistik harus ditinjau dari segi bentuk dan substansi. Bagi Saussure, substansi penting, namun bentuk lebih penting. Oleh karena itu, dalam kajian bahasa, nilai suatu unsur (langsung atau tidak langsung) sangat bergantung pada nilai unsur lain.

3.      Dikotomi Signifian dan signifie
Dikotomi antara signifiant dengan signifie, Saussure berpendapat bahwa bahasa meliputi suatu himpunan tanda satu lambang yang berupa menyatunya signifiant (signifier, bagian bunyi ujaran) dengan signifie (signified, bagian makna). Kedua bagian itu tidak dapat dipisahkan karena ujaran dan makna ditentukan oleh adanya kontras terhadap lambang-lambang lain dari sistem itu. Bahasa tanpa suatu sistem tidak akan ada dasar yang dapat dipergunakan untuk membedakan bunyi-bunyi yang ada ataupun konsep-konsep yang ada.
(1)   Signifiant
Bahasa adalah sistem lambang dan lambang itu sendiri adalah kombinasi antara bentuk (signifiant) dan arti (signifie). Signifiant merupakan bentuk bahasa yang terkandung dalam sekumpulan fonem. Signifiant juga sebagai perwujudan akustik suatu bahasa atau wujud dasar sistem fonologi suatu bahasa. Jadi, signifiant (penanda) merupakan citra bunyi atau kesan psikologis bunyi yang timbul dalam pikiran kita.
(2)   Signifie
Signifie merupakan kandungan mental atau citra mental suatu bahasa. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah makna suatu bahasa. Signifie (petanda) merupakan pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran kita. Setiap tanda tidak dapat dipisahkan dari tanda yang lain karena baik lafal maupun maknanya dipahami atas perbedaanya dari yang lain.
Dari segi mental, bahasa merupakan suatu totalitas pikiran dalam jiwa manusia. Dari segi fisik, bahasa adalah getaran udara yang lewat suatu tabung dalam alat bicara manusia. Jadi, bahasa merupakan pertemuan antara totalitas pikiran dalam jiwa dan getaran yang dibuat manusia melalui alat-alat bicaranya. Misalnya gambar kuda dilambangkan dengan kuda (ind), jeren (mdr), jeran (bawean), dan jaran (jawa).
Apabila ada berujar kuda dan kita mendengar rentetan bunyi /k, u, d, a/ itulah yang disebut signifiant, sedangkan bayangan kita terhadap seekor kuda disebut signifienya, yaitu seekor binatang berkaki empat, memiliki bulu di leher, dengan tenaga yang begitu kuat.

4.      Dikotomi langue dan Parole
Untuk memudahkan konsep langue dan parole ini, kita dapat membandingkan dengan permainan catur. Permainan catur diatur oleh sebuah aturan abstrak yang menentukan masing-masing bidak catur untuk melangkah. Aturan abstrak itu dinamakan langue. Karena ada aturan itu, para pemain memindahkan bidak catur sesuai dengan aturan-aturan abstrak itu. Perbuatan para pemain dalam memindahkan masing-masing bidak catur sesuai dengan aturan abstraks itu dinamakan parole. Dengan demikian kita tidak dapat bermain catur itu jika kita tidak tahu aturan-aturan yang menentukan permainan tersebut.
(1)   Langue
Langue mengacu pada sistem bahasa yang abstrak. Sistem ini mendasari semua ujaran dari setiap individu. Langue bukanlah suatu ujaran yang terdengar, tulisan yang terbaca, melainkan suatu sistem peraturan yang umum dan mendasari semua ujaran nyata. Langue adalah totalitas dari sekumpulan fakta bahasa yang disimpulkan dari ingatan pemakai bahasa dan merupakan gudang kebahasaan yang ada dalam otak setiap individu.
Saussure mengatakan bahwa langue merupakan keseluruhan kebiasaan (kata) yang diperoleh secara pasif yang diajarkan dalam masyarakat bahasa dan memungkinkan para penutur saling memahami dan menghasilkan unsur-unsur yang dipahami penutur dan masyarakat. Langue adalah pengetahuan dan kemampuan berbahasa yang bersifat kolektif dan dihayati bersama oleh semua warga masyarakat. Langue bersenyawa dengan kehidupan masyarakat secara alami. Eksistensi langue memungkinkan adanya parole, seperti yang kita ketahui bahwa parole adalah wicara aktual, cara pembicara menggunakan bahasa untuk mengekspresikan dirinya. Jadi, masyarakat merupakan pihak pelestari langue.
Dalam langue terdapat batas-batas negatif (misalnya, tunduk pada kaidah-kaidah bahasa, solidaritas, asosiatif dan sintagmatif) terhadap apa yang harus dikatakannya apabila seseorang mempergunakan suatu bahasa secara gramatikal. Langue merupakan sejenis kode, suatu aljabar atau sistem nilai yang murni. Langue adalah perangkat konvensi yang kita terima, siap pakai, dari penutur-penurut terdahulu. Langue telah dan dapat diteliti; langue juga bersifat konkret karena merupakan perangkat tanda bahasa yang disepakati secara kolektif. Tanda bahasa tersebut dapat menjadi lambang tulisan yang konvensional.
Langue tidak bisa dipisahkan antara bunyi dan gerak mulut. Langue juga dapat berupa lambang-lambang bahasa konkret; tulisan-tulisan yang terindera dan teraba (terutama bagi tuna runggu). Langue adalah suatu sistem tanda yang mengungkapkan gagasan.
Contoh: Pergi! Dalam kata ini, gagasan kita adalah ingin mengusir, menyuruh, Nah, kata pergi! dapat juga kita ungkapkan kepada tuna runggu dengan abjad tuna runggu, atau dengan simbol atau dengan tanda-tanda militer.
Langue perlu agar parole dapat saling dipahami; dan parole perlu agar langue terbentuk. Dengan kata lain, secara historis, fakta parole selalu mendahului langue. Bunyi kata: “pergi!” adalah parole, tetapi ia juga termasuk langue karena sistem tanda ada di sana dan maknanya pun ada. Langue hadir secara utuh dalam bentuk sejumlah guratan yang tersimpan di dalam setiap otak; kira-kira seperti kamus yang eksemplarnya identik (fotocopy), yang akan terbagi di kalangan individu. Jadi, langue adalah sesuatu yang ada pada setiap individu.
Langue bersifat kolektif: bersifat homogen, bahasan konvensional. Rumusnya: 1 + 1 + 1 + 1….= 1. Artinya, kata yang diucapkan oleh individu, diucapkan secara sama oleh orang banyak, begitu juga dengan maknanya, semua masyarakat bahasa tahu. Menurut Alwasilah (1983), langue adalah tata bahasa + kosakata + sistem pengucapan. Langue bersifat stabil dan sistematis.
Terbentuknya langue juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya: penjajahan (bahasa Penjajah mempengaruhi bahasa yang dijajah). Lebih jauh Saussure berpendapat bahwa langue diterima dengan pasif, tanpa memperkarakan dari mana langue tersebut berasal. Misalnya, kata “pinjam”: kita tidak perlu mengetahui dari mana kata ini berkembang dan kita tidak perlu tahu dari bangsa (suku) mana asalnya. Kata “pinjam” ini diketahui oleh semua masyarakat bahasa.
Walaupun kita tidak tahu dari mana asalnya, toh tidak menghambat kita untuk mempelajarinya. Harus diingat bahwa langue berubah, tetapi para penutur tidak mungkin mengubahnya; atau langue tertutup bagi interferensi, tetapi terbuka bagi perkembangan. Tanda-tanda yang membentuk langue bukan benda abstraksi, melainkan benda konkret. Contoh: pohon (yang konkret, ada batangnya, bisa kita lihat) dan “pohon” yang lain adalah bahasa yang terbentuk yang kita ucapkan, kita artikulasikan. Wujud bahasa hanya ada karena ada kerjasama antara penanda dan petanda. Dalam langue, sebuah konsep adalah kualitas dari substansi bunyi seperti suara tertentu merupakan kualitas dari konsep. Maka, konsep rumah, putih, melihat, merupakan bagian dari psikologi. Konsep itu hanya menjadi wujud bahasa jika diasosiasikan dengan gambar akustik (bisa dalam bentuk tulisan juga dalam bentuk bunyi).
(2)   Parole
Parole adalah bahasa tuturan, bahasa sehari-hari. Intinya, parole adalah keseluruhan dari apa yang diajarkan orang, termasuk konstruksi-konstruksi individu yang muncul dari pilihan penutur dan pengucapan-pengucapan yang diperlukan untuk menghasilkan konstruksi-konstruksi ini berdasarkan pilihan bebas juga. Parole adalah perwujudan langue pada individu. Parole merupakan manifestasi individu dari bahasa. Bahasa parole misalnya, gue kan ga suka cara kayak gitu, loo emangnya siape?, dst. Jadi, parole adalah dialek. Parole bukan fakta sosial karena seluruhnya merupakan hasil individu yang sadar, termasuk kata apapun yang diucapkan oleh penutur; ia juga bersifat heterogen dan tak dapat diteliti. Dalam parole harus dibedakan unsur-unsur berikut.
Pertama, kombinasi-kombinasi kode bahasa (tanda baca) yang dipergunakan penutur untuk mengungkapkan gagasan pribadinya. Misalnya, perang, kataku, perang! Kalimat ini jika diucapkan oleh orang yang sama pun, kata Saussure, ia menyampaikan dua hal yang berbeda pada pelafalan (kata perang pertama dilafalkan secara berbeda dengan kata perang kedua).
Kedua, mekanisme psikis-fisik yang memungkinkan seseorang mengungkapkan kombinasi-kombinasi tersebut. Parolelah yang membuat langue berubah: kesan-kesan yang kita tangkap pada saat kita mendengar orang lainlah yang mengubah kebiasaan bahasa kita. Jadi, antara langue dan parole saling terkait; langue sekaligus alat dan produk parole. Bersifat individu: semua perwujudannya bersifat sesaat dan heterogen dan merupakan perilaku pribadi. Parole dapat dirumuskan: (1’ + 1’’ + 1’’’ + 1’’’’…..). artinya, kata yang sama pun akan dilafalkan secara berbeda, baik orang yang sama maupun oleh banyak orang.

5.      Dikotomi individu dan sosial
Dikotomi antara individu dan sosial, Saussure mengatakan bahwa perilaku berbahasa anggota masyarakat sangat ditentukan oleh kelompoknya, meskipun ciri perilaku berbahasa masing-masing anggota berbeda antara satu dan lainnya. Perbedaan perilaku individu tidak akan menyimpang dari perilaku kolektif yang ada pada kelompok.
Saussure mengistilahkan bahasa-bahasa sebagai fakta-fakta sosial. Fakta sosial adalah istilah dari pendiri sosiologi, Émile Durkheim, dalam Rules of Sociological Method (1895), untuk mengacu kepada fenomena gagasan-gagasan dalam ‘minda kolektif’ dalam suatu masyarakat, yaitu yang di luar fenomena psikologis dan maupun fisikal. Fakta sosial bisa berupa konvensi dan bisa aturan-aturan. Contoh fakta sosial yang konvensional adalah kecenderungan orang Arab berdekatan secara fisik dengan lawan bicara atau kecenderungan orang Amerika mengambil jarak fisik dengan lawan bicara. Contoh fakta sosial yang berupa aturan-aturan adalah sistem hukum suatu masyarakat. Bahasa bisa disetarakan dengan sistem hukum atau struktur konvensi. Datanya berupa fenomena-fenomena fisikal atau parole, sedangkan sistem umumnya adalah langue atau ‘bahasa’ (dibedakan dari yang tanpa tanda kutip). Data kongkrit parole diproduksi oleh pengujar-pengujar secara indivual. Karena penguasaan bahasa tiap orang berbeda-beda, suatu bahasa tidak pernah lengkap pada diri seseorang; keberadaan lengkapnya secara sempurna hanya di dalam kolektivitas. Jadi, fakta sosial menurut Saussure bukan berupa minda kolektif maupun gagasan kolektif seperti yang diterangkan oleh Durkheim. Akibat perbedaan tersebut, muncul dua pendekatan, yaitu pendekatan ‘individualisme metodologis’ yang berseberangan dengan pendekatan Durkheim ‘kolektivisme metodologis’.

6.      Hubungan sintagmatik dan hubungan paradigmatik
(1)   Sintakmatik
Hubungan sintakmatik adalah hubungan yang diperoleh jika satuan-satuan diletakkan bersama dalam satu tindak bicara. Unit-unit kebahasaan dapat digabungkan menjadi bangun yang lebih panjang. Misalnya, apabila kita berkata rumah bagus itu akan dijual, maka kita melihat bentuk rumah yang dihubungkan dengan bentuk lain yang berbentuk suatu keutuhan. Sedangkan, menurut buku linguistik umum hubungan sintagmatik adalah hubungan antara unsur-unsur yang terdapat dalam suatu tuturan, yang tersusun secara berurutan, bersifat linear.
Contoh:
1.      Hubungan sintagmatik pada tataran fonologi: misalnya pada kata jamu terdapat hubungan fonem-fonem dengan urutan /j,a,m,u/. Apabila urutannya diubah, maka maknanya akan berubah, atau tidak bermakna sama sekali.
2.      Hubungan sintagmatik pada tataran morfologi tampak pada urutan morfem-morfem pada suatu kata yang juga tidak dapat diubah tanpa merusak makna dari kata tersebut, misalnya kata segitiga tidak sama dengan tigasegi.
3.      Pada tataran sintaksis misalnya kalimat saya sedang belajar matematika tidak memiliki arti yang sama dengan kalimat matematika belajar saya sedang ataupun dengan susunan kombinasi kalimat lainnya.
(2)   Paradigmatik
Hubungan paradigmatik adalah hubungan derivatif atau inflektif serangkaian bentuk jadian dengan bentuk dasar dari unit bahasa. Hubungan paradigmatik adalah hubungan antarelemen yang dapat saling menggantikan dalam slot yang sama dalam struktur kebahasaan, seperti yang tampak di bawah ini.
mesin
bermesin
mesinnya
permesinan
Kata mesin dengan bentuk di bawahnya memiliki hubungan paradigmatik.

Dikotomi antara langue dan parole dan dikotomi antara sintakmatik dan paradigmatik sebagai bukti bahwa bahasa merupakan realitas sosial. Sebagai realitas sosial bahasa sangat terikat oleh collective mind bukan individual mind. Sebagai collective mind, bahasa merupakan perpaduan antara parole dan langue. Parole mengacu pada tindak ujar dalam situasi yang sesungguhnya oleh masing masing individu. Langue ialah sistem bahasa yang dipakai secara bersama-sama oleh masyarakat penuturnya. Selanjutnya, hubungan paradigmatik merupakan hubungan yang menyatakan adanya kemampuan mengganti unsur dalam suatu lingkungan yang sama, sedangkan hubungan sintakmatik adalah hubungan yang menyatakan adanya kemampuan mengombinasikan ke dalam konstruksi yang lebih besar.




Sumber           : Artikel linguistik “BAHASA SEBAGAI FAKTA SOSIAL”
  Oleh: Imron Rosidi dan Mislinatul Sakdiyah

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT. Rineka Cipta.


                                               





No comments:

Post a Comment