Tiba-tiba aku teringat saat ibuku memberikan uang lima ratus ribu rupiah bukan dalam keadaan yang menyenangkan, saat itu keadaan keluarga kami sedang tidak begitu baik. Bisnis keluarga kami mengalami kebangkrutan. Ayahku depresi berat, ia bahkan sudah menitipkanku dan adik-adikku pada keluarga kami yang lain. Ibu berkata, "simpan saja uang itu untuk bekalmu jika sewaktu-waktu kau membutuhkannya". Lalu aku menyimpannya diantara tumpukkan baju-bajuku di lemari. Aku tidak pernah menyangka bahwa uang itulah yang membawaku hingga menjadi aku yang sekarang.
Entah mengapa dalam keadaan sulit itu, aku masih begitu egoisnya. Dalam pikiranku hanya ada satu hal yaitu ingin melanjutkan pendidikanku ke bangku kuliah. Aku bahkan masih memohon orang tuaku untuk mendaftarkanku ke universitas swasta karena aku tidak yakin mampu melewati seleksi penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri. Dan aku marah ketika ibuku menggelengkan kepalanya untuk permintaanku itu. Ibuku berkata cobalah masuk ke universitas negeri saja. Padahal aku bukan tidak tahu bahwa ia menangis setelahnya, tapi itulah kenyataan yang terjadi saat itu.
Tak putus harapan aku meminta temanku untuk mengantarkanku mendaftar ke salah satu univ komputer swasta di Bandung. Pikirku yang terpenting adalah bisa diterima, biaya pendaftarannya saat itu adalah dua ratus ribu rupiah. Aku berencana memakai uang lima ratus ribu yang diberikan ibuku tempo hari. Aku pun pergi ke sana, kebetulan temanku membawa mobil, kami parkir tepat di depan kampus itu. Lalu ia menyuruhku untuk segera masuk dan mendaftar. Entah mengapa aku merasa begitu minder, kuminta temanku untuk mengantar tapi sayang ia hanya memakai sandal jepit membuatnya tidak ingin keluar. Aku tidak begitu ingat berapa lama, tapi cukup lama kami hanya duduk di dalam mobil dan selama itu aku terus berpikir untuk masuk atau tidak. Akhirnya kuputuskan untuk pulang, kuminta temanku untuk menjalankan mobilnya membawaku pergi dari tempat itu secepat mungkin sebelum aku berubah pikiran.
Tidak jauh dari kampus itu kami melewati salah satu Univ negeri di Bandung, suasana di jalan itu ramai dengan mahasiswa yang hilir mudik. Tiba-tiba temanku bertanya kenapa aku tidak ikut seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) saja daripada masuk ke univ swasta. Spontan aku berkata "Ah, tidak bisa". Hari itu pun kulalui tanpa hasil.
***
Malam yang sepi kembali menemaniku, di rumahku sejak siang hingga malam tak ada bedanya suasananya terlalu menyedihkan. Ayahku yang begitu keras seketika menjadi orang yang tak berdaya, bahkan ibuku jauh lebih tegar darinya. Aku pun sudah lama tidak berhubungan dengan teman-teman di sekolah rasanya sepi tak tahu harus berbuat apa lagi. Hingga tiba-tiba saja temanku di SMA menghubungiku dan mengajakku untuk mengikuti SPMB. Sungguh aku merasa mendapatkan jalan yang kuinginkan.
Keesokan harinya aku pergi mendaftar SPMB, kubawa uang lima ratus ribu itu kutukarkan dengan satu map coklat untuk peserta SPMB IPC seharga dua ratus lima puluh ribu rupiah tanpa ada satu orang pun di rumahku yang mengetahuinya. Map coklat berisi formulir, kartu peserta, dan buku petunjuk SPMB itu kubawa dan kuisi secara diam-diam. Aku bimbang, aku berdoa seorang diri berpikir jurusan apa yang harus kupilih berharap bisa lolos seleksi.Hingga ujian selesai, aku tidak berani memberitahukan orang tuaku. Kutunggu hingga hasilnya benar-benar keluar.
Itulah perjalananku, Aku berhasil lolos SPMB untuk Sastra Indonesia tahun 2007 dan menyelesaikan pendidikankku di tahun 2011. Keberhasilan kecil itu kini membawaku menuju tantangan lain dunia nyata.